Judul buku : Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer
Penulis : Jujun S. Suriasumantri
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan
Tahun Terbit: 2005
Peringkas : Triyanda Nurrahmah
Kau tahu sendiri bagaimana metodeku, Watson.
(Arthur Conan Doyle dalam The Crooked Man)
11. Jarum Sejarah Pengetahuan
Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusi kita menganggap
semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama.
Tidak terdapat jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan obyek yang
lain, serta wujud yang satu dengan wujud yang lain. Semua menyatu dalam
kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat
pembedaan antara berbagai pengetahuan, apakah itu cara memburu gajah,
cara mengobati sakit gigi, biografi para dewa di kayangan atau kapan mulai
bercocok tanam. Semuanya satu apapun objeknya, metodenya atau
kegunaannya. Metode yang digunakan dulu adalah metode “ngelmu”.
Pada pertengahan abad ke-17 berkembangnya Abad Penalaran (The
Age of Reason) menyebabkan perubahan fundamental. Pada abad ini terdapat
pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan
timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur
kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibedakan berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu
dipergunakan.
Salah satu cabang pengetahuan yang berkembang adalah ilmu, yang
dimana berbeda dari yang lain dari segi metode. Metode ilmu merupakan
paradigma abad pertengahan. Ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya
serta untuk apa ilmu dipergunakan. Secara metafisik, Ilmu berbeda dengan
moral. Ilmu dibedakan menjadi ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
berdasarkan obyeknya dan berkembang menjadi 650 disiplin keilmuan.
Menciutnya tiap disiplin keilmuan ingin dikaburkan batas-batasnya
melalui pendekatan inter-disipliner yaitu dengan sarana berpikir ilmiah
seperti logika, matematika, statistika dan bahasa seperti Semboyan Tiga
Muskelir dari Alexandre Dumas: “Tous pour un, un pour tous!” (Bahkan
kapling moral mulai digabungkan kembali dengan kapling ilmu secara
metafisik, tapi pendekatan ini menimbulkan anarki keilmuan. Akhirnya
setelah perang dunia II muncul paradigma “Konsep Sistem” sebagai alat
untuk mengadakan pengkajian bersama antar disiplin keilmuan.
12. Pengetahuan
Pada hakikatnya, pengetahuan merupakan segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu.
Pengetahuan yaitu khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak
langsung turut memperkaya kehidupan kita sebagai sumber jawaban berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Sedangkan ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai
pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
Secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang
berada dalam lingkup pengalaman manusia. Maka dari itu, Ilmu tidak
menjawab pertanyaan seputar agama ataupun komputer, karena ilmu tidak
diprogramkan untuk hal itu, sebab dalam tubuh pengetahuan, ilmu memang
tidak menyusun cakupan permasalahan tersebut.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai
apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan. Adapun
cara menyusun pengetahuan yang benar adalah menggunakan metode ilmiah
(landasan epistemologi). Sehingga, jika kita berbicara epistiomologi ilmu,
maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada
dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Maka dari
itu, kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi dengan cara harus
menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Ilmu mencoba
mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang umum dan
impersonal.
Tahap berikutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba
menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap
kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa dan asap kemenyan. Dengan
mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai
kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama dan
bercocok tanam.
Pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat
(common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error)
kemudian berkembang. Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya
pengetahuan yang disebut “seni terapan” (applied arts) yang mempunyai
kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping “seni
halus” (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Contohnya
adalah peradaban Mesir Kuno, Cina, India serta Indonesia yang menjadi
bukti adanya seni terapan di peradabannya.
Seni yang terpakai ini memiliki dua ciri yaitu 1) deskriptif dan
fenomenologis, yaitu mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan
kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan
untuk pengembangan postulat yang bersifat teoretisatomistis, dan 2) ruang
lingkup terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar