*REBO WEKASAN*
Asal-usul kebiasaan *REBO WEKASAN* adalah berawal dari rekomendasi kitab karangan Syaikh Ahmad bin 'Umar Ad-dairobiy yang berjudul ;
[فتح الملك المجيد المؤلف لنفع العبيد وقمع كل جبار عنيد]
Atau lebih populer dikalangan masyarakat dengan sebutan "Mujarrobat Dairobi" atau "Mujarrobat Kabir"
Terdapat juga redaksi Rabu Wekasan dalam kitab karangan Syaikh 'Abdul Hamid Muhammad 'Ali bin 'Abdul Qadir Quds yang berjudul ;
[كنز النجاح والسرور في الأدعية التي تشرح الصدور]
Ada juga redaksi lain tentang Rabu Wekasan di jumpai dalam kitab karangan Syaikh Muhammad bin Khotiruddin bin Baa Yazid Al-'Atthor yang berjudul ;
[الجواهر الخمس]
Ada pula redaksi - redaksi lain yang kebanyakan berasal dari kitab-kitab sirr (Rahasia) seperti حاشية الستين dan sebagainya.
Melihat dari istilah shalat Rebo Wekasan maka istilah ini terkait dengan shalat yang populer pada sebagian masyarakat pulau Jawa. Adapun istilah Rebo Wekasan itu sendiri memakai bahasa Jawa dengan bentuk frase-nya. Rebo menunjukkan makna "hari Rabu" sementara Wekasan menunjuk makna "terakhir" jadi makna Rebo Wekasan adalah "Hari Rabu terakhir".
Rabu terakhir yang dimaksud disini adalah hari Rabu terakhir dibulan Shofar (Sapar dalam lidah Jawa). Jadi shalat Rebo Wekasan adalah shalat yang dilakukan pada hari Rabu terakhir (minggu keempat) di bulan Shofar, dengan tata cara tertentu.
Sebab yang mendasari kepercayaan ini adalah; Setiap tahun Allah menurunkan 320.000 Bala’/musibah. Bala’ tersebut diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shofar, sehingga hari Rabu ini adalah hari yang paling sulit dan rawan dalam tahun tersebut. Bahkan ada sebagian orang yang tidak keluar rumah pada hari tersebut. Oleh karena itu, untuk menolak bala’ tersebut maka dilakukan shalat di hari itu. Shalat itulah yang kemudian dinamakan dan popular dengan istilah shalat Rebo Wekasan. Oleh karena shalat ini dilakukan untuk menolak bala’ maka shalat ini popular juga dengan istilah Shalat Lidaf’il Bala’ (shalat untuk mencegah bala’/musibah).
Adapun waktu pelaksanaannya dilakukan pada pagi hari, tepatnya setelah shalat Isyraq/Dhuha. Yang unik lagi ada sebagian yang melaksakan shalat ini pada malam Rabo-nya. Tatacaranya sebagaimana yang disebutkan dalam keterangan kitab-kitab diatas yaitu, dilakukan sebanyak empat Rakaat. Setiap rakaat membaca surat al Fatihah dan membaca Surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq, dan An-Nas. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali.
Hanya saja, tidak cukup menukil sumber dari sebuah kitab untuk menilai sebuah apalagi amalan tersebut sifatnya adalah syar'i. Juga termasuk Naif jika langsung menerima sebuah amalan dari kitab hanya karena judulnya berbahasa Arab. Sebab sebuah amalan agar bisa disebut Syar’i harus didasarkan pada Nash, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah atau dalil yang ditunjuk oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Kepercayaan seseorang juga harus didasarkan pada dalil agar bisa disebut kepercayaan Islam. Sebuah buku atau kitab juga perlu diresensi untuk menentukan posisi buku atau kitab tersebut dalam kajian hukum Syara'.
Menurut hemat saya, kitab semodel Mujarrobat Ad-Dairoby tidak boleh dijadikan tumpuan dalam melaksanakan amalan-amalan syariat, karena kitab ini dalam merekomendasikan amal umumnya tidak menggali dari Nash Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi malah menisbatkan dasar amalan dan juga kepercayaan kepada ucapan tokoh misterius yang disebut dengan istilah “Ba’dhu Al-‘Arifin Min Ahli Al-Kasyfi Wa At-Tamkin” (Sebagian Ahli Makrifat yang punya ilmu Mukasyafah dan pangkat). Sebagian kaum muslimin malah mensifati kitab Mujarrobat Ad-Dairoby ini sebagai kitab sihir dan perdukunan karena banyaknya hal yang dianggap Khurafat dan tidak berdasarkan dalil. Hal yang sama berlaku pada kitab Kanzu An-Najah Wa As-Surur Fi Al-Ad’iyah Allati Tasyrohu As-Shudur” karangan Abdul Hamid Quds, ‘Al-Jawahir Al-Khoms” karangan Muhammad bi Khothiruddin Al-‘Atthar, dan Hasyiyah As-Sittin meskipun kondisi kitab-kitab ini sebagiannya tidaklah “separah” kitab Mujarrobat Ad-Dairoby. Secara umum, kitab-kitab ini memiliki kesamaan dari sisi direkomendasikannya amalan tanpa dasar Nash dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Rasulullah SAW bersabda;
صحيح مسلم (9/ 119)
عن عَائِشَة أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Dari Aisyah; bahwasanya Rasulullah SAW bersabda; barangsiapa melakuakn sebuah amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amalan tersebut tertolak (H.R.Muslim)
Lebih lagi, ibadah adalah pengaturan hubungan antara Allah dengan hambanya (hubungan vertikal horisontal) yang mana cara untuk mengetahuinya hanya mungkin ditunjukkan oleh para Nabi dan Rasul, karena tatacara itu diluar jangkauan akal manusia. Sedangkan menerima tatacara ibadah yang bukan berasal dari Nabi dan Rasul maka itu bermakna "menerima tatacara ibadah" yang dirumuskan oleh akal atau berasal dari was-was syaitan.
Ada sebuah riwayat dari Abu Hurairoh.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafidl al-Hujjah Ibnu Rajab al-Hanbali, berkata sebagai berikut:
أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).
“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) adalah dilarang.”
[Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148]
Dalam hal kepercayaanpun setiap muslim wajib mengambil hanya dari Nash,tidak boleh dari desas-desus atau berita konon katanya (Hoax). Kepercayaan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan shafar Allah menurunkan ratusan ribu bala' tidak dapat dijadikan kepercayaan. Yang seharusnya menjadi keyakinan dan wajib dilaksanakan adalah ketakwaan diri kita kepada Allah SWT. Bala', bencana, musibah, rezeki, kebahagiaan, umur, maut semua hak priogratif Allah. Jadi terserah Allah kapanpun hendak menurunkan semua itu kepada mahlukNya.
HUKUM SHALAT REBO WEKASAN
Jika niatnya adalah shalat secara khusus, maka hukumnya tidak boleh.
Jika niatnya adalah shalat sunnah muthlaq atau shalat sunnah hajat maka hukumnya boleh-boleh saja. Sebab melakasanakan ibadah sunnah sangat dianjurkan.
Fatwa Syaikh Hasyim Asya'ari Jombang (Pendiri Organisasi NU) terkait Shalat Rebo Wekasan dan Shalat Ansil Qobri (hadiah mayyit) merujuk dokumen yang ada pada cabang NU Demak,bahwa kedua shalat tersebut tidak boleh dilakukan.
أورا وناع فيتواه, اجاء-اجاء لن علاكونى صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع كاسبوت اع سوال, كرنا صلاة لورو ايكو ماهو دودو صلاة مشروعة فى الشرع لن اور انا اصلى فى الشرع.
“Ora wenang pituwah, ajak-ajak, lan nglakoni sholat Rebo Wekasan lan sholat hadiah kang kasebut ing su-al kerono sholat loro iku mau dudu sholat masyru’ah fis Syar’i lan ora ono asale fis Syar’i”
Artinya;
“Tidak boleh memberi fatwa, mempromosikan, dan melakukan Shalat Rebo Wekasan dan shalat hadiah kepada mayyit sebagaimana tersebut dalam pertanyaan, karena kedua shalat tersebut bukan shalat yang disyariatkan dalam syariat dan tidak ada asalnya dalam syariat”
والله أعلم
حسن فريد
Tidak ada komentar:
Posting Komentar