Two
Different Nights
Triyanda Nurrahmah
Triyanda Nurrahmah
Tak
ada biaya, tak apa. Asalkan Kembaranku dan Aku bisa meraih kesuksesan di masa
yang akan datang. Kami berdua merupakan saudara kembar yang hanya tinggal
berdua di sebuah gubuk tua di dekat pinggiran sungai. Kedua orang tua kami
sudah pergi mengahadap Sang Ilahi karena kecelakaan yang menimpa mereka 2 tahun
yang lalu. Di gubuk tua inilah banyak kenangan indah bersama mereka terukir.
Karena itulah tetanggaku kerap kali mendatangi kami walau hanya untuk memberi kami sajian makanan
ataupun sembako dan perlengkapan sekolah lain karena semasa hidup mendiang Ayah
dan Ibuku, mereka pernah bekerja di semua rumah tetangga walau itu hanya
menjadi pembantu dan pencuci baju keliling. Bukan berarti kami berhenti untuk
meraih cita-cita. Tetapi malahan menguatkan niat kami untuk bersekolah bahakan
kalau bisa ikut lomba tingkat nasional. Keadaan kondisi Kami berdua tak menjadi
pembicaraan teman-teman di SMP. Karena kami saat MPLS yang lalu telah berjanji
bahwa tak akan membawa beban yang ada di rumah ke sekolah agar ketika di
sekolah pikiran itu tidak menganggu aktivitas belajar kami. Di sekolah kami berdua dikenal sebagai siswa
kembar cerdas yang tak bisa tersaingi di sekolah itu. Bahkan, guru ku saja
mengakui bahwa kami tak tertandingi saat ia menjadi pembina upacara di hari
senin lalu.
Mungkin,
kami hanyalah siswa smp kelas 8. Akan tetapi kebiasaan yang kulakukan di hari
libur tetap kami jalankan lagipula pekerjaannya tak terlalu sulit yaitu hanya
mencari sampah-sampah di bawah kolong jembatan yang bisa didaur ulang untuk
dijual kepada orang yang bisa mendaur ulangnya. Hal ini kami lakukan untuk
mencukupi kebutuhan yang harus kami penuhi sendiri dalam kehidupan agar kami
tetap terbiasa mandiri dalam hidup. Tiba-tiba saat kami sedang mencari
sesampahan. Kembaranku berteriak sekencangnya padaku. Kemudian ia berlari menghampiriku
dan menunjukkan sesuatu itu padaku. Ya, info lomba cerdas cermat untuk dua
orang siswa dalam satu tim yang tidak dipungut biaya. Lomba ini akan
diselenggarakan minggu depan, tetapi belum ada persiapan yang matang bagi kami
berdua. Karena kami tak ingin menyusahkan orang alin. Jadi, kami tidak memberi
tahu siapa-siapa terkait hal ini dan rencana kami. Kami pun mengambil izin
untuk 5 hari karena kami akan berjalan ke sana.
Dua
hari kemudian, surat keterangan izin dari kami berdua pun kami berikan kepada
temanku dan memintanya untuk menyampaikannya kepada guru. Tanpa bertanya lagi
ia langsung menuruti permintaan kami. Pakaian kami bereskan untuk berganti-ganti
sewaktu kami di perjalanan. Perjalanan dimulai. Kami akan memutuskan untuk
puasa selama di perjalanan dan seketika menghirup air segar asli pegunungan
yang ada di pinggiran jalan. Sambil berjalan kami membaca buku seadanya dari
sekolah untuk lomba ini. Untuk menutupi identitas kami, kami tidak memakai
sepatu dan baju sekolah. Melainkan hanya dengan kaki telanjang dan baju yang sudah
robek-robek.
Di
tengah perjalanan, kami bertemu dengan seorang kakek tua renta yang terpapar di
jalanan yang sepertinya telah ditinggalkan oleh keluarganya. Kami melihat
keadaan yang cukup parah yang dialami kakek tua ini. Tujuan utama kami kami
hapuskan dan berusaha untuk membantu kakek tua renta ini. Untung Mendiang Ibuku
dulu pernah mengajarkanku tentang obat-obat tradisional. Akhirnya, kami
mempraktikkan ini kepada kakek ini. Ketika kami sedang mengobati kakek ini.
Sebuah mobil ambulans berhenti di hadapan kami dan meminta izin kepada kami
agar kakek ini dirujuk ke rumah sakit. Dengan catatan kami juga harus ikut.
Kami pun menyetujuinya dan tak lama kemudian kami tiba.
Setibanya
di sana Kakek itu langsung dibawa ke ruang ICU dan ruangan langsung ditutup.
Seorang Laki-laki berjaket putih lengkap dengan stetoskop yang menggantung di
lehernya menghampiri kami dengan senyumannya yang manis dan menyuruh kami untuk
menunggu sebelum akhirnya ia masuk ke
ruang itu juga. Kami benar-beanr khawatir dengan Kakek itu. Bagaimana jika
nyawanya tidak terselamatkan?. Tidak. Kami tidak boleh berpikiran aneh. Buku
yang kami baca tadinya tidak kami buka lagi karena kekhawatiran kami.
Setelah
menunggu lama, akhirnya dokter tadi bersama perawat lain keluar menghampiri
kami. Dan menyuruh kami untuk masuk. Kami berduapun masuk sambil diiringi oleh
dokter dan para perawat tadi. Kakek itu tersenyum sambil menggenggam tangan kami
berdua yang berada di kanan dan kiri kasur kakek itu. Sambil mengucapkan kata
terima kasih. Dokter baik yang kami temui di luar tadi lasngsung membungkukkan badannya ke arah ku dan sambil
menangis terima kasih sambil menundukkan kepalanya serya berkata karena jika
tidak ada kami kemungkinan besar nyawanya tak akan terselamatkan. Kembaranku
yang melihatnya juga ikut sedih.
Kemudian, para perawat tadi langsung memeluk
kembaranku itu sambil menangis. Aku bingung mengapa khawatir ini berakhir
dengan duka. Lantas spontan Dokter itu langsung berdiri lagi dan berkata bahwa
sebenarnya Dokter dan Para perawat itu merupakan cucu dari kakek ini. Dan Kakek
ini tinggal bersama dengan Ibu tiri mereka yang amat kejam. Dokter itu mengatakan
bahwa mereka saja tidak tahan tinggal di sana ia sambil melihat kakek yang di
tubuhnya sudah banyak bekas luka yang berbakat. Karena hari telah larut malam
dan Kakek itu akan dibawa kembali ke salah satu rumah cucunya yang masih muda.
Kami pun diajak untuk tinggal di sana. Sepanjang perjalanan kami bercerita
tentang mengapa kami bisa bertemu dengan kakek ini dan dari mana asal kami
tanpa menyebutkan tujuan awal kami. Dengan tersenyum Dokter dan para perawat
itu menyatakan bahwa aku dan saudara kembarku akan menjadi adik dari mereka dan
juga cucu dari kakek itu selamanya. Betapa bahagianya aku, walau besok adalah
hari dimana lomba itu berlangsung. Aku tidak kecewa karena aku telah
mendapatkan keluarga baru yang sungguh ku banggakan.
Di
rumah itu kami bercerita mengenai sekolah kami ketika ditanya mau pindah atau
tetap. Kami bersama menjawab tetap. Lagipula di rumah tua itu kami masih ingin
tetap inggal. Seperti jika dibilang kami tetap tinggal berdua seperti anak
asrama dan keluarga kami berpisah. Dengan raut muka yang membingungkan keluarga
baruku pun mengangguk menuruti apa kata kami, dengan catatan kami harus selalu
jaga diri karena setiap harinya keluarga baru akan selalu datang ke gubuk tua
itu. Alhamdulillah... seperti kata pepatah utang emas boleh dibayar utang budi
dibawa mati, yang artinya budi baik orang hanya dapat dibalas dengan kebaikan
pula. Dimana disini kami menciptakan kebaikan dengan menolong kakek kakek dan
tak disangka akhirnya kami mendapatkan keluarga baik yang baru. Di malam kemarin
kami menciptakan kebaikan dan balasan kebaikan kami dapatkan malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar