Rabu, 07 April 2021

Makna Hakikat Kerakyatan dalam Pancasila

 Makna Hakikat Kerakyatan dalam Pancasila 

Kata hakikat (Haqiqat)  merupakan kata benda yang berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata “Al-Haqq”, dalam bahasa indonesia menjadi kata pokok yaitu kata “hak” yang berarti milik (kepunyaan), kebenaran, atau yang benar-benar ada, sedangkan secara etimologi Hakikat berarti inti sesuatu, puncak atau sumber dari segala sesuatu1. Menurut KBBI, hakikat adalah intisari atau dasar2. Hakikat Kerakyatan dalam Pancasila terdapat pada sila ke-4 yang berisi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. 

Kerakyatan atau kedaulatan rakyat adalah paham demokrasi Indonesia yang dibangun berdasarkan tiga prinsip sebagai berikut3 :

Rapat, yaitu tempat rakyat melakukan musyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang berkaitan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama.

Massa-protes, yaitu hak rakyat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat mengenai segala peraturan perundang-undangan yang tidak adil.

Tolong menolong atau kolektivitas yaitu penyusunan perekonomian nasional sebagai usaha bersama yang terdesentralisasi.

Prinsip pertama dan kedua merupakan dasar bagi demokrasi politik. Sedangkan prinsip  ketiga merupakan dasar bagi demokrasi ekonomi (Mohammad Hatta, Menuju Indonesia Merdeka, 1932). Istilah “Kerakyatan” mengadung 2 arti yaitu4 : 

◦ Cita-cita Kefilsafatan yaitu bahwa negara dan segala sesuatu keadaan maupun sifat daripada negara adalah untuk keperluan seluruh rakyat. 

◦ Kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Ini menunjuk pada pengertian kedaulatan rakyat (rakyat yang berdaulat/berkuasa) Demokrasi Rakyat yang memerintah.


Oleh karena itu ‘Hakikat Kerakyatan’ dalam Pancasila dapat diartikan sebagai kesesuaian sifat-sifat dan keadaan-keadaan daripada dan didalam negara RI yang sesuai dengan hakikat Rakyat4. Hakikat “Rakyat” adalah keseluruhan jumlah dari semua warga dalam negara, segala sesuatunya meliputi semua warga dan untuk seluruh warga negara, adanya hak serta wajib azasi kemanusiaan bagi setiap warga perseorangan dalam kaitannya dengan hakikat manusia, semua itu terjelma sebagai azas demokrasi baik demokrasi politik maupun demokrasi Fungsional4. Rakyat merupakan subyek pendukung dalam sebuah negara. Negara adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Oleh karena itu, rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara. Sehingga dalam sila kerakyatan terdapat nilai demokrasi yang harus diselenggerakan oleh negara5. 

Maka nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam pancasila bukan hanya menyangkut kepada kebebasan individu. Demokrasi yang terdapat pada sila ke-4 adalah mengenai nilai moral ketuhanan, kesatuan dan nilai persamaan. Oleh karena itu demokrasi yang berdasarkan kedaulatan rakyat menyimpan kekuasaan ditangan rakyat. Hal ini didasari oleh moral kebersamaan demi terwujudnya kehidupan berbangsa yang harmonis, bukan persaingan bebas dan menguasai yang lainya5.

Berkat sifat persatuan dan kesatuan dari Pancasila, sila ke-4 mengandung pula sila-sila lainnya, sehingga kerakyatan dan sebagainya adalah kerakyatan yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia5.


Implementasi Sila ke-4

Pelaksanaan sila ke-4 dalam masyarakat pada hakekatnya didasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Persatuan Indonesia, dan mendasari serta menjiwai sila Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Hak demokrasi harus selalu diiringi dengan sebuah kesadaran bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan beragama masing-masing, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, serta menjunjung tinggi persatuan. Adapun pelaksanaan /implementasi dari penerapan sila ke-4 dari pancasila adalah6 ;

1.Sebagai warga Negara dan masyarakat, setiap manusia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.

2.Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi dan golongan.

3.Dengan itikad baik dan rasa tanggungjawab menerima dan melaksanakn hasil keputusan musyawarah.

4.Tidak boleh memaksakan kehendak orang lain.

5.Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.

6.Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai dalam musyawarah.

7.Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bersama.

8.Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan permusyawaratan.


Sikap-Sikap Positif Hak dan Kewajiban sebagai Rakyat Indonesia

Dalam berbangsa dan bernegara sebagai Warga negara Indonesia (WNI) kita harus selalu bersikap positif agar tercipta persatuan, kedamaian, dan kesejahteraan rakyat. Sikap- sikap positif tersebut adalah6 :

1. Mencintai Tanah Air (nasionalisme).

2. Menciptakan persatuan dan kesatuan.

3. Ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan.

4. Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.

6. Mengeluarkan pendapat dan tidak boleh memaksakan kehendak orang lain.

7. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.

8. Memperoleh kesejahteraan yang dipimpin oleh perwalian.


RESUME BAB IV EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR Dari Buku Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer karangan Jujun S. Suriasumantri

Judul buku : Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer 

Penulis : Jujun S. Suriasumantri

Penerbit : Pustaka Sinar Harapan

Tahun Terbit: 2005

Peringkas : Triyanda Nurrahmah


Kau tahu sendiri bagaimana metodeku, Watson.

(Arthur Conan Doyle dalam The Crooked Man)

11. Jarum Sejarah Pengetahuan

Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusi kita menganggap 

semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama. 

Tidak terdapat jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan obyek yang 

lain, serta wujud yang satu dengan wujud yang lain. Semua menyatu dalam 

kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat 

pembedaan antara berbagai pengetahuan, apakah itu cara memburu gajah, 

cara mengobati sakit gigi, biografi para dewa di kayangan atau kapan mulai 

bercocok tanam. Semuanya satu apapun objeknya, metodenya atau 

kegunaannya. Metode yang digunakan dulu adalah metode “ngelmu”.

Pada pertengahan abad ke-17 berkembangnya Abad Penalaran (The 

Age of Reason) menyebabkan perubahan fundamental. Pada abad ini terdapat 

pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan 

timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur 

kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibedakan berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu 

dipergunakan.

Salah satu cabang pengetahuan yang berkembang adalah ilmu, yang 

dimana berbeda dari yang lain dari segi metode. Metode ilmu merupakan 

paradigma abad pertengahan. Ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya 

serta untuk apa ilmu dipergunakan. Secara metafisik, Ilmu berbeda dengan 

moral. Ilmu dibedakan menjadi ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial 

berdasarkan obyeknya dan berkembang menjadi 650 disiplin keilmuan.

Menciutnya tiap disiplin keilmuan ingin dikaburkan batas-batasnya 

melalui pendekatan inter-disipliner yaitu dengan sarana berpikir ilmiah 

seperti logika, matematika, statistika dan bahasa seperti Semboyan Tiga 

Muskelir dari Alexandre Dumas: “Tous pour un, un pour tous!” (Bahkan 

kapling moral mulai digabungkan kembali dengan kapling ilmu secara 

metafisik, tapi pendekatan ini menimbulkan anarki keilmuan. Akhirnya 

setelah perang dunia II muncul paradigma “Konsep Sistem” sebagai alat 

untuk mengadakan pengkajian bersama antar disiplin keilmuan.

12. Pengetahuan

 Pada hakikatnya, pengetahuan merupakan segenap apa yang kita 

ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. 

Pengetahuan yaitu khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak 

langsung turut memperkaya kehidupan kita sebagai sumber jawaban berbagai 

pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Sedangkan ilmu merupakan 

bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai 

pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.

Secara ontologis, ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang 

berada dalam lingkup pengalaman manusia. Maka dari itu, Ilmu tidak 

menjawab pertanyaan seputar agama ataupun komputer, karena ilmu tidak 

diprogramkan untuk hal itu, sebab dalam tubuh pengetahuan, ilmu memang 

tidak menyusun cakupan permasalahan tersebut.

Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai 

apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) 

pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan. Adapun 

cara menyusun pengetahuan yang benar adalah menggunakan metode ilmiah 

(landasan epistemologi). Sehingga, jika kita berbicara epistiomologi ilmu, 

maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.

Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada 

dasarnya adalah bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan 

memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Maka dari 

itu, kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi dengan cara harus 

menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu. Ilmu mencoba 

mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang umum dan 

impersonal.

Tahap berikutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba 

menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap 

kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa dan asap kemenyan. Dengan 

mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai 

kegunaan praktis seperti untuk pembuat tanggul, pembasmian hama dan 

bercocok tanam.

Pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat

(common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error) 

kemudian berkembang. Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya 

pengetahuan yang disebut “seni terapan” (applied arts) yang mempunyai 

kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping “seni 

halus” (fine arts) yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Contohnya 

adalah peradaban Mesir Kuno, Cina, India serta Indonesia yang menjadi 

bukti adanya seni terapan di peradabannya.

Seni yang terpakai ini memiliki dua ciri yaitu 1) deskriptif dan 

fenomenologis, yaitu mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan 

kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan 

untuk pengembangan postulat yang bersifat teoretisatomistis, dan 2) ruang 

lingkup terbatas.